Bocah Desa Sagu Korban Banjir NTT : Terima Kasih Kakak Mapala
Sahabat Muda News – Adonara, Mata indah Hasan, Rasul, Alfat dan Zain terlihat berbinar. Senyum penuh semangat tak pernah lepas dari wajah polos mereka yang berwarna kecoklatan khas kulit orang pesisir. Mereka bersama belasan bocah lucu lainnya adalah peserta psikososial yang diselenggarakan oleh relawan Mapala Muhammadiyah yang mendirikan posko kemanusiaan di desa mereka yang bernama desa Sagu, kecamatan Adonara Timur, kabupaten Flores Timur, NTT.
Posko kemanusiaan tadi diinisiasi oleh Al Ghifari dari SARMMI (SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia) bersama Irchamsyah dari CAMP STIEM Jakarta, serta Andi Agil dan Zainal Alichsan dari Mamupa IKIP Muhamamdiyah Maumere.
Beberapa hari usai posko kemanusiaan didirikan, bergabung dua relawan Batara Guru Rescue Luwu Timur yakni Mustamun dan Taufik Syam, serta empat relawan dari IAIN Palopo yang masing-masing Jacky Talib, Ishak, Bayu Imam dan Ilham Andi.
Desa Sagu yang berpenduduk 980 KK, sebagian wilayahnya berada di pesisir dan beberapa bukit yang berada tak jauh dari garis pantai. Di dua tempat itulah warga desa Sagu bermukim.
Desa Sagu yang mayoritas warganya berprofesi nelayan, semula merupakan pemukiman elok nan tenang. Tetapi banjir bandang yang disebabkan oleh siklon tropis seroja yang mengganas di wilayah NTT, membuat desa Sagu beserta sekian banyak desa lain di NTT serta-merta berantakan. Sejumlah rumah roboh dan hanyut, longsor terjadi di banyak tempat, ekonomi sempat lumpuh dan bocah-bocah mengalami trauma yang perlu pemulihan segera.
“Sejak hari pertama mendampingi warga desa Sagu, anak-anak sudah kami prioritaskan. Mereka mengalami trauma pasca banjir bandang. Ada sekian materi psikososial untuk mereka. Kami selenggarakan berulang-ulang selama beberapa hari. Materi untuk hari ini adalah Ice breaking, game tradisional dan permainan mewarnai,” kata ketua relawan SARMMI Al Ghifari. (19/4/2021)
Semua materi jelas Al Ghifari mengandung edukasi, diselenggarakan dengan gembira, serta melibatkan peran aktif tiap anak-anak yang mengikuti psikososial. Melihat semangat peserta psikososial, Al Ghifari beserta semua rekan relawannya optimis trauma bocah-bocah yang mereka sayangi ini dapat segera pulih.
Semangat Hasan, Rasul, Alfat, Zain beserta belasan teman seusianya patut diapresiasi. Tiap selesai mengikuti sebuah materi psikososial, mereka akan mengikuti materi berikutnya dengan semangat yang sama seperti yang mereka tunjukkan pada materi sebelumnya. Juga dengan kegembiraan yang sama.
“Terima kasih kakak Mapala.” Begitu ucapan riang para bocah bersemangat itu usai mengikuti materi dari relawan yang mendampingi mereka. Ucapan sederhana yang polos, sekaligus menyiratkan ketulusan yang menggugah nurani siapa saja yang mendengarnya.
Bocah-bocah itu hatinya memang baik. Saat tak ada kegiatan untuknya, mereka bermain di sekitar posko kemanusiaan yang letaknya hanya beberapa meter dari laut yang ombaknya tidak ganas. Bila mendapati relawan sedang sibuk mengatur bantuan untuk warga desa Sagu, para bocah ini langsung reaksi cepat membantu — padahal tidak diminta. Ada yang menghitung mie instan. Ada yang memasukan beras ke plastik. Sebagian menyingkirkan kardus. Beberapa bocah berebut mengangkat bantuan yang sudah dikemas lalu menghitungnya — walaupun sering salah jumlah karena terhitung dobel. Seru. Juga lucu.
“Apel jatuh tak jauh dari pohon.” Begitu pesan sebuah pepatah kuno. Mudah dipastikan, sikap baik hati pada bocah itu merupakan warisan langsung dari orang tua mereka. Orang-orang lugu yang bersahaja. Terhadap ini Irchamsyah dari CAMP dan Andi Agil Mamupa memiliki pengalaman sukar dilupa.
“Tiap bertemu warga sini, mereka mengajak mampir ke rumahnya. Padahal tahu sendirilah kondisi rumah mereka pasca banjir. Mereka sangat senang saat kami bertandang. Padahal kami tidak membawa apa-apa saat mampir,” kata Irchamsyah.
Andi Agil bertutur, “Warga selalu memperhatikan kami. Menanyakan kesehatan kami. Tiap hari ada saja warga yang mengajak berbuka puasa di rumahnya. Ajakan mereka sungguh-sungguh. Bahkan kalau malam, ada warga datang ke posko dan meminta kami tidur di masjid Muchlisin Sagu. Agar kami tak kedinginan, karena posko kami tak berdinding sehingga angin laut bebas masuk tanpa penghalang.”
Begitulah warga desa Sagu. Bencana banjir yang meluapi desa mereka tak membuat sikap baik hati mereka ikut hanyut terbawa air bah. Mereka tetap peduli, bahkan kepada para relawan yang datang justru karena peduli pada nasib mengenaskan mereka. – Ahyar Stone / SARMMI. Mapala UMY. Wartapala Jogja –