Siasat COVID-19

Dilangsir dari https://rri.co.id/nasional/peristiwa/865196/anak-buah-nadiem-makarim-mengakui-kendala-bdr. Dinyatakan berdasarkan survei Balitbang Kemendikbud hanya 37.5 persen siswa menyatakan belajar dari rumah menyenangkan. Sedangkan, sisanya menyatakan belajar dari rumah merupakan hal menyulitkan. Dikatakan bahwa persepsi siswa tentang belajar dari rumah ini pada umumnya tidak setuju. Mayoritas tidak setuju. Konsisten dengan mahasiswa tadi, mereka tetap lebih senang belajar tatap muka di sekolah. Survei Balitbang Kemendikbud itu dilaksanakan sebanyak dua kali. Survei pertama digelar pada minggu ke-2 hingga ke-3 April 2020, dengan responden guru dan kepala sekolah. Survei kedua dilakukan pada Mei 2020, dengan responden siswa dan orang tua.

Dari penjelasan di atas kita rasa perlu mendudukan pada inti permasalahannya. Tatap muka dan BDR (belajar dari rumah). Pilihannya belajar dari rumah karena kondisi memaksa hal itu. Salah satu protokol COVID-19 mensyaratkan jaga jarak. Tidak berkerumul memberi kepastian bahwa jaga jarak dapat dilakukan efektif. BDR menjadi satu-satunya pilihan yang perlu dicarikan jalan keluarnya dari ketidaknyamanan belajar. Berarti bagaimana caranya agar siswa bisa belajar nyaman, bukan?

Coba saja bayangkan saat siswa belajar tatap muka. Apa yang membuatnya bisa belajar? Apa yang membuat anak nyaman? Menurut saya, pertama ada guru dan teman-temannya. Karena sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kedekatan satu sama lain untuk berbagai keperluan. Berkomunikasi untuk bertukar pikiran, minta nasihat, menyampaikan kebaikan atau uneg-eneg diri (curhat). Apakah ini bisa dimodifikasi? BDR harus bisa memfasilitasi komunikasi tersebut. Kedua fasilitas belajar. Ada informasi (bisa buku, bisa data dari web) atau modul belajar. Artinya ada jaringan sinyal yang kuat yang bisa diakses sebagai sarana pembelajaran.

Nah jika kedua kebutuhan itu bisa dijawab, maka tidak ada masalah PJJ (pembelajaran jarak jauh) dengan BDR. Biasanya kebutuhan kedua yang sulit dicerna oleh orang tua. Padahal seharusnya senyaman belajar dengan tatap muka di sekolah, tapi diplesetkan menjadi penugasan jarak jauh. Kalau begini jadi salah kaprah.

Saya mengajak para pendidik untuk berbagi keceriaan kepada siswa kita. Pertama yang saya lakukan adalah membuat e-modul yang interaktif. Siswa akan senang dan semangat melihat, membaca, dan mengikuti instruksi dari modul. Ini sudah saya buktikan kepada siswa saya, pun di di jenjang setingkat kelas satu. Kedua ada tugas yang nyaman dikerjakan siswa karena memfasilitasi keterampilan belajar abad 21. Critical thinking dan problem solving, creative, collaborative, communicative, dan care share for other.

Tentu membuat penugasan yang membuat siswa berpikir out of the box denga nada penyelesaian masalah sedekat mungkin dengan siswa. Harus kreatif dan bisa dikomunikasikan kepada orang-orang di sekitarnya. Sementara kalaboratifnya yang tidak tercapai karena bekerja individual. Guru yang kreatif dapat memfasilitasi kolaboratif dengan kerja tim lewat daring juga. Salah satu yang saya sarankan adalah membuat project.

Kegiatan yang dibuat guru dalam e-modul harus menantang. Pasti butuh pemikiran yang lebih besar dan lebih terorganisir sesame guru. Jika demikian e-modul bisa di-publish segera dan siswa akan mengikuti dengan senang.

Jika ternyata terkendala sinyal, maka jalan yang bisa ditempuh guru adalah mengirim modul ke rumah masing-masing siswa. Berat sih, tapi ini adalah bagian dari kesungguhan guru bekerja di era pandemi COVID-19 ini sekaligus mengenal siswa dan keluarganya lebih dekat walau tetap berjarak.

 

Kang Yudha

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *