Balada Peti dan Dodo
“Petok. Petok. Petok. Hu hu hu hu,” tangis Peki si ayam betina merah mencari Dodo anak domba berbulu putih , sahabatnya yang sedari pagi tidak dilihat batang hidungnya.
Sementara di lapangan samping masjid jami suara takbir terus dikumandangkan. 10 Zulhijjah setelah dilangsungkan salat Idul Adha, prosesi pemotongan hewan qurban sudah berjalan.
“Allahuakbar. Allahuakbar. Allahuakbar. La illahaillahu Allahuakbar. Allahubakbar walillahilham.” Suara takbir terus menggema di seluruh penjuru kampung. Apalagi di lapangan tempat hewan qurban.
“Hu hu hu. Dodo. Di mana kamu? Aku tidak akan melihatmu lagi, ya. Apakah kamu sudah disembelih? Dodo! Jawab Dodo! Jawab dong panggilanku!” Peki terus mencari sahabatnya itu, termasuk mencarinya di tempat pemotongan.
“Matanya awas melihat setiap hewan qurban yang sudah disembelih. Namun, tak satu pun dikenali sebagai sahabatnya itu.
“Petok. Petok. Petok. Dodo pasti tidak ada di sini. Biar aku cari di lapangan sebelah lagi. Dodo! Dodo! Dodo! Masih hidupkah kamu, Dodo!” pekik Peti tidak sabar ingin segera bertemu dengan Dodo.
Kemudian Peki melakukan pencarian di lapangan kedua seperti di lapangan pertama. Banyak hewan qurban di sini, tapi belum ada pemotongan. Ah, semoga aku bisa menemukan Dodo di sini, gumam Peti. Namun sayang setelah berkeliling, Peti juga tidak menemukan Dodo sahabatnya.
Sekali lagi Peti berteriak, “Petok. Petok. Petok. Dodo, jawablah panggilanku. Dodo, di mana kamu berada? Dodo! Dodo!”
Peti sedih sekali karena tidak menemukan Dodo sahabatnya itu. Pikirannya mulai menduga-duga. Apakah mungkin Dodo dibeli oleh orang di luar desa mereka? Apakah Pak Rahmat tega menjual Dodo yang lucu dan lincah itu?
“Petok. Petok. Petok. Hu hu hu. Dodo jangan tinggalkan aku, Dodo.” Peti terus berjalan menuju lapang rumput di ujung desa.
“Petok. Petok. Petok. Dodo, kamu sudah meninggalkan aku. Hu hu hu hu.” Peti terus saja bersedih.
Namun, di pinggir lapangan sebelah barat, terlihat samar-samar benda putih dengan tenang sedang makan rumput. Dialah Dodo. Dodo sedang memilih rumput terbaik yang letaknya di sebelah barat lapangan karena jarang sekali dilalui orang. Jadi rumputnya segar.
“Petok. Petok. Petok. Dodo! Kamu, Dodokah itu?” tanya Peti sembari berlari menuju benda samar yang kian lama kian jelas terlihat.
“Dodo!” teriaknya lebih kuat.
Dodo mengangkat kepalanya sedikit keheranan dengan panggilan Peti yang tidak biasa. Panggilan histeris yang memecahkan keheningan pagi itu.
“Mbek. Mbek. Mbek. Ada apa, Peti? Kok seperti baru disambar petir saja,” tanya Dodo sambil mengembik.
“Petok. Petok. Petok. Syukurlah, kamua masih hidup, Do. Aku kira kamu ikut menjadi qurban juga,” jawab Peti.
“Mbek. Mbek. Mbek. Lho, emangnya kenapa kalau aku dipilih menjadi hewan qurban?” tanya Dodo menggelitik.
“Tentu aku sedih sekali, Do. Kamu, kan teman terbaikku selama ini. Aku akan kehilangan dirimu dan tentu kamu akan sedih juga, bukan? Petok. Petok. Petok. Kehidupanmu direnggut begitu saja.” Peti mencoba beralasan.
“Mbek. Mbek. Kamu salah sahabatku. Aku justru merasa sedih kenapa bukan aku yang terpilih untuk menjadi hewan qurban. Kamu tahu kenapa?” tanya Dodo si domba putih.
“Petok. Petok. Petok. Kenapa, Do?” tanya Peti penasaran.
“Itu karena usiaku belum genap setahun. Domba-domba yang diqurbankan harus sudah berusia setahun, Peti. Jadi insyaallah tahun depan aku sudah bisa dijadikan hewan qurban. Oh ya, selain jenis domba sepertiku, ada lagi hewan lain yang diqurbankan. Mereka adalah unta, sapi, kerbau, juga kambing. Cuma syaratnya berbeda-beda. Unta itu dapat diqurbankan setelah berusia lima tahun. Sapi dan kerbau setelah berusia dua tahun. Sedangkan kambing sama seperti aku para domba, setelah berumur setahun.” Dodo menjelaskan.
“Kok, kamu senang mau disembelih, sih. Petok. Petok. Petok. Bukannya itu sakit dan menyiksa diri sendiri?” tanya Peti lagi.
“Begini, Peti sahabatku. Mbek. Mbek. Mbek. Aku justru bangga jika tahun depan aku terpilih orang yang membeli dari Pak Rahmat, pemilikku. Orang-orang itu akan memilih domba yang sehat sebagai bentuk syukur pada Sang Pencipta. Dialah Allah SWT yang telah memberi makan manusia sehingga bisa berbagi dengan keluarganya. Allah-lah yang memberi rezeki sehingga orang-orang bisa pergi jalan-jalan, punya tempat tinggal, punya kendaraan, punya handphone bagus, dan kelimpahan rezeki dalam hidup setahun. Selain itu berqurban adalah memberi pahala berlimpah baut pengqurbannya. Aku akan menjadi kendaraannya di akherat. Membawa pengqurban berkeliling surga.” Dodo menjelaskan panjang lebar.
“Petok. Petok. Petok. Oh begitu, ya.” Peti mulai merenung.
“Mbek. Mbek. Maka dari itu, aku harus makan yang banyak dan bergizi agar tubuhku sehat. Aku juga harus menjaga tubuhku tidak cacat karena syarat menjadi hewan qurban selain usianya cukup adalah sehat dan tidak cacat. Itulah sebaik-baiknya hewan yang diqurbankan,” tambah Dodo memberi penjelasan singkat dan padat.
“Petok. Petok. Petok. Hu hu hu hu,” tangis Peti kini lebih keras.
“Mbek. Lho kok menangis lagi, Peti?” tanya Dodo keheranan.
“Petok. Petok. Aku sedih sekarang. Aku tidak bisa jadi hewan qurban seperti dirimu. Padahal menjadi hewan qurban amat mulia di sisi Allah.” Peti sesenggukan.
“Mbek. Eh jangan salah sangka, Peti. Allah telah menentukan kadar masing-masing hewan seperti kita. Telurmu sangat berguna untuk manusia, kan. Mbek. Mbek. Manusia dapat memakan telur yang kamu hasilkan dan menjadi sehat karena banyak protein. Bukankah yang paling bertaqwa adalah yang paling bermanfaat bagi sekelilingnya?” Dodo memberi semangat.
Seketika Peti berhenti menangis. Kemudian merenung beberapa saat.
“Petok. Petok. Petok. Ya, aku juga ingin tetap sehat seperti dirimu, Dodo. Aku ingin menghasilkan telur yang banyak dan sehat. Pak Rahmat akan senang dan dapat menjual telurku dengan bangga karena banyak protein.” Tiba-tiba Peti kembali cerah.
“Mbek. Nah, gitu dong sahabatku. Yuk kita berperan di bidang kita masing-masing. Tetap semangat, hanya selalu beribadah kepada Allah, dan berperasangka baik kepada-Nya.”
“Petok. Petok. Petok.”
“Mbek. Mbek. Mbek.”
Akhirnya dua sahabat, Peti dan Dodo kembali pulang ke kandang mereka dengan perasaan bahagia. Diiringi suara takbir yang masih berkumandang hingga tiga hari ke depan 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Di mana di hari tasyrik itu diharamkan umat manusia berpuasa. Semua bersuka cita. Menyambut Idul Qurban dan merayakannya. Saling berbagi daging qurban dan memasaknya untuk keluarga dan handai tolan.
“Allahuakbar. Allahuakbar. Allahuakbar. La illahaillahu Allahuakbar. Allahubakbar walillahilham.”
Kang Yudha