Ayah Hebat
Kalau ini memang berat “banget” buat meluangkan waktu bersama anak. Percaya gak? “Kudu” percaya, deh. Pasalnya memang ayah itu gak mungkin “dekem” bareng anak-anaknya “saban” hari di rumah aja, kecuali ada dua kemungkinan.
Pertama, ngantor di rumah. Nah yang ini emang asyik. Bisa ketemu anak dan istri setiap saat. Lah kerja dari rumah. Wajar dong dan sekarang ayah work from home, bahasa kerennya, dah menggejala. Apalagi era pandemi, yang “memaksa” ayah melindungi keluarganya dari ketularan dirinya yang bolak-balik ke kantor dan bertemu dengan banyak orang. Kemungkinan terjadi penularan besar “banget”. Tentu ayah model gini “gak” ingin dong, keluarganya ketularan virus yang gak jelas keberadaannya. Ya lantaran kecil, ukuran mikroskopik yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Coba aja bayangin, justru karena gak kelihatan membuat orang lalai. Cuma ayah yang peduli dan perhatian sama keluarganya, yang memilih berada di rumah. Itu juga kalau ada pilihannya. Ya, seperti ayah-ayah yang punya kesempatan bekerja dari rumah.
Kedua, menyempatkan waktu sebisa mungkin buat anak dan keluarganya manakala ada tatap muka atau bahasa sederhananya “soan” ke rumah. Semisal orang penting, gurunya, orang tuanya dari kampung, atau pejabat yang berwenang. Eh yang terakhir gak jadi. Maksudnya guru yang banyak memberi perhatian pada anaknya. Coba aja perhatikan. Ketika ada info guru anaknya mau bertandang ke rumahnya, apa yang dilakukannya. Nah, ayah jenis kedua ini akan mempersiapkan diri. Minimal izin cuti setengah hari buat bertemu dengan orang istimewa. Loh kok, dibilang istimewa? Ya, iyalah. Guru anak itu ibarat orang tua kedua. Mereka jadi motivator saat sang ayah tidak mampu menyisakan waktunya untuk bermain dan belajar bersama anaknya. Mereka memfasilitasi belajar yang terstruktur sehingga anak punya pengalaman yang kelak akan dijadikan referensinya dalam menentukan langkah-langkah strategis dalam hidupnya. Benaran. Ya pasti benar, khususnya buat ustaz dan bunda guru yang membersamai anak-anak para ayah dan bunda di rumah. Mereka mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran untuk mendampingi putra-putri orang tuanya dengan sabar dan telaten. Gak mudah loh mengikuti proses perkembangannya. Dari yang sulit mengungkapkan perasaan jadi lebih berkicau. Dari yang tulisannya tidak terbaca hingga jadi cerita yang “ngangenin”. Dari yang tertukar mengurutkan bilangan sampai bisa lompat dua dan lompat tiga, bahkan lompat lima, dan macam-macam perkembangan akademiknya. Belum lagi perkembangan keterampilan dasarnya dan perangainya. Gurunya tidak bosan mengingatkan tentang sampah, misalnya. “Ayo bawa sampahnya kembali ke rumah. Jangan tinggalkan di sekolah.” “Antre ya, cuci tangannya dalam barisan panjang. Sabar dan bergantian. Tidak berebutan.” “Siapa yang berani berpendapat? Siapa yang siap jadi anak hebat?”
Nah buat melengkapi, ada satu lagi, yang ketiga nih. Yaitu ayah yang tidak memiliki kesempatan bertemu dengan tamu istimewanya. Ya, karena pekerjaannya menuntut mereka berada di tempat kerja. Bahkan mengharuskan mereka di luar kota berhari-hari. Tidak ada pilihan. Maka para bundalah yang akan menggantikan kedudukan terhormat itu. Mewakili bertemu dengan tamu istimewa. Meminta maaf kalau ayah sang buah hatinya benar-benar sedang berhalangan. Sungguh.
Ya, Ayah dan Bunda sekalian. Insyaallah tamu istimewa itu akan memaklumi keadaan apapun yang tengah terjadi. Percayalah bahwa tamu istimewa ini selalu positif dalam berpikir. Insyaallah setiap anak hebat bersama ayah yang hebat pula.
Kang Yudha